Sekolah Adiwiyata dan Pendidikan Karakter

Sekolah Adiwiyata dan Pendidikan Karakter

Baru-baru ini ada pemberitaan tentang pengiriman sampah illegal ke Indonesia. Di beberapa titik sepanjang jalan Trans Flores mustahil kalau kita tidak menemukan tumpukan sampah anorganik (plastik/properti) yang sulit diurai. 

Di pasar, lapangan bola, kintal sekolah juga kita temukan sampah (terutama plastik). Di halaman rumah  juga kita temukan sampah. Memang kita terlahir sebagai makluk yang menghasilkan sampah. Jadi tidak heran kalau kita menemukan sampah di mana-mana.

Lantas, kita mau apa?

Mengapa Indonesia Berani mengirim kembali sampah illegal kepada pengirimnya? Mengapa seorang gubernur atau pemimpin daerah meninginkan kota yang bersih, bebas sampah? Mengapa ada larangan membuang sampah di sembarang tempat atau ajakan untuk mengurangi penggunaan plastik?

Di mana-mana kita temukan kampanye tentang kota hijau. Lembaga-lembaga pemerintah dan swasta ramai-ramai mengkampanyekan diri bebas sampah plastik, ramai-ramai mengkampanyekan diri sebagai institusi yang cinta lingkungan. Sayang, ini tidak begitu saja meniadakan sampah dari mata kita.

Promblematika sampah sangat berkaitan erat dengan ketidakseimbangan ekologis. Jelas sampah (terutama plastik dan properti yang sulit diurai) menjadi perusak lingkungan dan berdampak pada kehidupan. 

Isu kerusakan lingkungan seperti banjir, pencemaran udara, kebakaran hutan, dan isu pemanasan global pada hemat saya disesbabkan oleh ketidaksadaran dan ketidaktahuan manusia menjaga keseimbangan lingkungan. Tidak bijak dalam mengelolah sampah adalah contohnya.

Sekolah sebagai wadah pendidikan mesti tanggap terhadap isu lokal, nasional, dan global lingkungan hidup. Sebagai wadah ilmiah dan memiliki peran strategis perubahan, sekolah perlu menjalankan education for sustainable development. Sistem pendidikan yang membelajarkan peserta didik untuk hidup berkelanjutan terutama terhadap keseimbangan ekologis yang berkelanjutan.

Sedangkan,  secara etimologis kata adiwiyata merupakan gabungan dua kata dari bahasa Sansekerta “adi” yang memiliki arti agung, sempurna, atau ideal dan “wiyata” yang berarti tempat seseorang mendapat ilmu, etika, norma, dan moral. 

Adiwiyata dapat diartikan tempat yang agung/sempurna/ideal untuk memperoleh ilmu pengetahuan, etika, norma, dan moral. Kita dapat memberi kesimpulan bahwa sekolah adiwiyata merupakan tempat yang agung sempurna atau ideal untuk menyelenggarakan proses pembelajaran. Dalam perkembangan selanjutnya sekolah adiwiyata memiliki makna sekolah yang peduli dan cinta lingkungan hidup.

Sekolah juga perlu bersepakat bahwa pengembangan sekolah adiwiyata bukan sekedar menjawabi tantangan ekologis yang dirasakan saat ini. Pengembangan sekolah adiwiyata harus merupakan bagian dari pengembangan pendididkan karakter (PPK). 

Sebab, dalam rangka mengatasi persoalan lingkungan hidup, tidak cukup dengan kampanye tentang upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Pelestarian lingkungan hidup harus menjadi karakter tiap insan manusia. 

Pendidikan karakter berupaya menjadikan diri agar hidup lebih baik. Sekolah adiwiyata tidak bisa sekali jadi. Sekolah adiwiyata harus terprogram dan berkelanjutan sebagaimana  pendidikan karakter bukan didiktekan tetapi diterapkan. Penerapan pendidikan karakter melalaui program sekolah adiwiyata diprogramkan di awal tahun pelajaran dan berkelanjutan sepanjang sekolah berdiri.

Selanjutnya jika konsep tentang sekolah adiwiyata merupakan bagian dari pengembangan pendidikan karakter, maka  harus dijalankan sesuai keunggulan kebudayaan lokal. Sejak perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter melalui penerapan sekolah adiwiyata tidak boleh terlepas dari sendi-sendi kehidupan masyarakat lokal. 

Kita dituntut untuk mengetahui potensi lokal di mana sekolah kita berada. Dalam konteks keselarasan pendidikan, para guru hanya memiliki peran “mengikuti” apa yang ada. Kita tidak boleh merubah yang ada. Apalagi memaksakan konsep ilmiah yang kita miliki, kecuali berintensi memberi yang terbaik sesuai arah pengembangan tujuan pendidikan. 

Di lain sisi, pendidikan berperan sebagai pengembang kreatifitas peserta didik. Kreatifitas butuh pendekatan dialogis bukan dengan sistem komando. Prasyarat mutlak dalam penegembangan kreativitas adalah bahasa-bahasa penerimaan.

Sekolah adiwiyata dan pendidikan karakter bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 2018 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan penghargaan adiwiyata kepada 396 sekolah adiwiyata. Sekali lagi kita berharap bahwa sekolah adiwiyata bukan sebatas lomba. Kita harus berani menargetkan bahwa setiap sekolah adalah sekolah adiwiyata. 

Hal ini bukan merupakan pemaksaan atau sekedar menambah tugas-tugas sekolah. Karena sekolah merupakan tempat menimba ilmu, maka sekolah harus adiwiyata (tempat yang paripurna untuk meperoleh ilmu pengetahuan). 

Tujuan utama program sekolah adiwiyata bukan untuk memenangkan perlombaan. Program sekolah adiwiyata harus selaras dengan prinsip edukatif, partisipatif, dan berkelanjutan. Penerapan sekolah adiwiyata juga perlu dijalankan secara bersama untuk mencapai bonum commune

Aktivitas sekolah adiwiyata dapat berupa langkah-langkah awal seperti stop penggunaan sampah plastik, penanaman pohon (satu anak satu pohon), penataan taman kelas, kerajinan tangan berbahan dasar bahan alami, aksi pungut sampah plastik dan mengajak masyarakat bijak terhadap sampah. Semuanya dimulai dari para pendidik, tenaga pendidik, dan peserta didik. Bermula dari diri, berlanjut di kelas, dan dijadikan budaya sekolah.

Jika sebatas konsepsi, maka sekolah adiwiyata dan pendidikan karakter gagal. Sekolah adiwiyata dan pendidikan karakter perlu diwujudnyatakan dalam bentuk tindakan/aksi nyata di sekolah. Sekolah adiwiyata merupakan sekolah berjiwa cinta lingkungan hidup. Sekolah adiwiyata berkaitan langsung dengan perhatian kita kepada pelestarian lingkungan hidup yang diterapkan melalui penerapan pendidikan karakter berkelanjutan. 

Melalui kegiatan sekolah adiwiyata kita berupaya menciptakan genarasi berkarakter. Generasi yang peduli lingkungan hidup. Insan yang senang dengan lingkungan yang sehat, bebas sampah plastik, indah, hijau, dan berdampak pada ekosistem akademik yang damai. Generasi yang mampu mewujudkan lingkungan hidup yang homeostatis (stabil dan seimbang).

Viktor Sekundus Juru (Guru Daerah Pedalaman
sumber: https://www.kompasiana.com/komentar/undusjuru/5d4bc2770d82306bed0ab3b4/sekolah-adiwiyata-dan-pendidikan-karakter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.