Mengajar dengan Bahagia Ala Finlandia

Mengajar dengan Bahagia Ala Finlandia

Penulis: Sugeng Priyadi

Untuk sukses, anda harus bahagia. Bahagia sendiri bukanlah hasil dari kesuksesan. Dengan kata lain kunci menuju kesuksesan adalah dengan menjadi bahagia terlebih dahulu.

Kutipan tersebut saya ambil dari buku “ Teach like Finland” karya Timothy D Walker. Salah satu buku yang saya incar baca dari dulu, namun baru kesampaian selama masa pandemi ini dengan meminjam via IPusNas. Memang benar kata orang bijak “ Selalu ada hikmah dibalik tiap musibah”. Family time yang lebih luang, waktu kerja yang lebih fleksibel, membaca buku lebih rutin, olahraga lebih teratur, sampai bisa rebahan sambil push rank tiap hari, hehe. Intinya, dengan lebih banyak nya waktu kosong selama masa pandemi ini, kita bisa mengisinya dengan berbagai aktivitas yang positif.

Sebagai seorang guru, saya seringkali mendengar kata-kata “ Andai saja pendidikan di Indonesia bisa kaya Finlandia” atau “ Finlandia itu keren loh pendidikan ama sekolahnya , jauh ama Indonesia” saat mengobrol dengan rekan kerja. Hal tesebut memantik rasa ingin tahu saya. Memang sekeren apa sih sistem pendidikan di Finlandia, yang bukan hanya dipuji-puji oleh rekan pendidik,namun juga jadi idola bagi negara-negara lainnya?

Faktanya, bila kita berbicara masalah peringkat pendidikan antara negara-negara di dunia, merujuk pada PISA (Program for International Student Assessment) Index yang diadakan setiap tiga tahun sekali dan menilai kemampuan matematika, sains dan literasi peserta didik setiap negara, Finlandia konsisten menempati posisi 10 teratas, dengan capaian tertingginya meraih peringkat kedua pada tahun 2003 dan 2006. Sementara Indonesia juga sangat konsisten. Menempati posisi 10 terbawah semenjak mengikuti PISA index sejak tahun 2000 hingga yang terakhir pada 2018. Padahal Finlandia sendiri adalah negara kecil. Penduduknya berkisar 6 juta orang, tidak lebih banyak dari penduduk Jakarta. Luas negaranya pun tidak lebih besar dari pulau Sumatera.

Sebenarnya, kunci keberhasilan pendidikan di Finlandia terletak pada satu hal mendasar, dimana konsep pendidikannya lebih menekankan pada proses yang menyenangkan dan bahagia, alih alih mengejar hasil atau nilai yang maksimal. Imbasnya, karena siswa disana merasa fun dan enjoy dalam pembelajaran, mereka meraih hasil yang lebih maksimal daripada siswa di negara lain yang lebih berfokus pada hasil yang baik.

Timothy D Walker, penulis buku ini, awalnya adalah salah satu guru di Boston, yang hijrah dan menjadi guru di Finlandia. Masa awal pindah, dia mengalami culture shock di tempat kerjanya. Soalnya, di sekolah Finlandia sana, semuanya serba santai. Mirip-mirip dengan people +62. Bedanya kita santai tapi tidak professional, mereka santai tapi tetap professional.

Di sekolah barunya itu, bang Timothy ini mengalami hal hal yang sangat kontras dengan pendidikan di Amerika : Jam kerjanya yang relatif singkat dimana  murid masuk jam 7 dan pulang jam 2. Ketika muridnya pulang, gurunya pun ikut pulang juga. Jadi tak ada istilah lembur di Finlandia.

Ditambah lagi waktu belajar yang pendek itu belum dikurangi oleh waktu istirahat 15 menit yang sering, dan jeda waktu 5 menit tiap pelajaran. Ketika ada jeda waktu itu, guru gurunya pun tidak repot mengurus administrasi seperti RPP dan sebagainya. Mereka malah lebih milih nongkrong di teacher lounge, sambil ngopi atau baca koran.

Dengan segala hal tersebut, bang Timothy heran. Kok bisa dengan sistem pendidkan yang santai ini, peringkat PISA Finlandia selalu di atas Amerika. Padahal, pendidikan di Amerika sana, menurutnya, selalu menyibukkan guru dan murid dengan berbagai kegiatan yang berkualitas. Bahkan, ketika jam kerja sudah selesai, guru-gurunya masih sibuk mengurus persiapan kelas dan administrasi lainnya

Menurut Bang Timothy ini, terdapat lima variabel yang menunjang keberhasilan pendidikan di Finlandia :

1. Rasa dimiliki    

Bagaimana menciptakan  tough bonding antara guru dan siswa adalah hal yang esensial. Ajak mereka untuk bermain bersama. Sapa mereka setiap pagi di depan kelas. Dengarkan aspirasi dan pendapat mereka selalu. Kata rekan kerja saya “ Anggap lah murid di kelasmu sebagai anakmu sendiri

2. Kesejahteraan

Ada cerita menarik di buku ini. Masa awal bang Timothy menjadi guru di Finlandia, dengan semangat 45, dia langsung menghubungi kepsek  untuk meminta pembekalan dan orientasi awal. Waktu itu sedang libur semester. Dan kepseknya membalas dengan santai kalau dia akan pergi mendaki gunung selama liburan ini. Ia juga merekomendasikan Timothy untuk bertanya kepada salah satu guru berpengalaman di sekolah. Setali tiga uang, guru tersebut baru membalas email dari Timothy ketika liburan sudah selesai.

Guru guru di Finlandia sangat menghargai waktu istirahat dan waktu berlibur. Bagi mereka, tidak ada istilah kerjaan yang dibawa pulang ke rumah. Pun dengan murid-muridnya, hampir tidak ada beban PR yang memberatkan untuk dikerjakan. Dengan waktu istirahat dan berlibur yang cukup, mereka bisa lebih fokus mengajar esoknya

3. Mandiri

Murid murid di Finlandia terbiasa melakukan semuanya sendiri, termasuk pulang dan pergi sekolah sendiri. Tanpa diantar oleh orang tua atau bis jemputan. Bahkan ada salah satu murid yang sudah terbiasa pulang dan pergi sekolah dengan berjalan kaki semenjak TK, padahal jarak sekolah dan rumahnya mencapai hampir satu kilometer.

Dan bahkan dalam beberapa hal, murid murid di Finlandia juga diberikan kebebasan dan kemandirian dalam menentukan projek atau aktivitas pembelajaran mereka sendiri.

4. Penguasaan

Berbeda dengan beberapa sekolah elite di Indonesia, yang sudah tidak menggunakan k13, dan lebih menggunakan kurikulum dari luar negeri atau kurikulum plus yang mereka kembangkan sendiri, guru-guru di Finlandia beranggapan kalau kurikulum yang dikembangkan pemerintah setempat sudah komplit dan sangat membantu pembelajaran. Sehingga mereka merasa sudah cukup dengan menggunakan kurikulum yang ada. Dan memang, menurut mereka salah satu tugas guru adalah menjembatani antara kurikulum dengan minat siswa.

Hal tersebut juga ditunjang dengan fakta, bahwa tidak ada pengkategorian sekolah plus atau elit disana. Semua sekolah memiliki kualitas yang relatif sama. Dan untuk menjadi tenaga pendidik disana juga mesyaratkan masa belajar yang cukup lama dan berkualitas.

5. Pola pikir kolaborasi.

Salah satu poin plus disana adalah guru –guru yang menggunakan pendekatan abundance oriented (berorientasi pada kelimpahan), dimana ada ruang bagi tiap individu untuk tumbuh dan saling membantu. Acapkali salah satu guru disana akan masuk ke kelas lain, membantu apa yang diperlukan, dan baru keluar bila kelas selesai. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang lazim disana. Imbasnya, disana tidak ada senioritas antara guru. Yang ada hanya iklim untuk saling membantu dan berkolaborasi

Pertanyaannya, bisakah hal-hal diatas diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia. Sayangnya, menurut asumsi penulis buku ini, tidak bisa. Lain ladang lain belalang. Iklim dan kondisi sosial antara masyarakat Finlandia dan Indonesia tentu berbeda jauh. Namun, dengan menerapkan beberapa tips-tips mengajar di buku ini yang relevan dijalankan di Indonesia, setidaknya, kita bisa mengajar mendekati Finlandia. Syukur-syukur juga kualitas pendidikan dan peringkat Indonesia di PISA bisa mendekati Finlandia. 

Sumber: https://www.kompasiana.com/gengs/5ebd145ed541df57b52a6c72/mengajar-dengan-bahagia-ala-finlandia?page=1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.