Berbincang tentang Moral Masa Kini, Masih Pantaskah Pemuda Menjadi Tumpuan Harapan?

Berbincang tentang Moral Masa Kini, Masih Pantaskah Pemuda Menjadi Tumpuan Harapan?

Menyoroti beberapa kasus belakangan ini  yang banyak dibintangi oleh generasi muda, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana nasib bangsa kita di tangan mereka 20 tahun yang akan datang? Anak usia 15 tahun sudah bisa membunuh tanpa rasa bersalah. Siswi SMA dilecehkan oleh senior laki-lakinya. Beredarnya video asusila oleh siswa MTs. Dan sederet kasus bullying yang menyebabkan korban cacat, tewas, bahkan bunuh diri. Entah besok ada berita apa lagi. 

Tulisan ini tidak bermaksud memberi kesan pesimis yang berlebihan. Tidak juga menunjukkan bahwa si penulis sudah mampu membawa masa depan cerah bagi bangsa ini. Hanya saja sebuah bentuk keresahan sebagai salah satu kaum mudi dengan beredarnya berita yang semakin hari menggelitik nurani. Jika dahulu isu tentang generasi muda adalah tawuran dan narkoba, maka saat ini jauh daripada itu. Bahkan sudah keluar dari nalar akal sehat.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa salah satu penyebab yang paling besar adalah kecanggihan teknologi informasi. Kita tidak dapat menolak atau mengindari teknologi walaupun sebagai pengguna kita belum siap untuk menghadapi semuanya. Bangsa kita belum sepenuhnya dewasa dalam menyikapi perkembangan begitupula dengan mereka yang bergelar ‘millenial’. Bangga dengan seperangkat alat canggih yang dimiliki, seolah dunia ada di genggamannya. Namun tak sadar sebenarnya sedang dibodohi dan diperbudak olehnya. 

Adalah hal yang wajar jika anak muda itu nakal karena mereka masih dalam tahap pencarian jati diri. Mereka mengeksplorasi nilai-nilai di sekitar, dan seringkali mempertanyakan hal-hal yang terlarang. Namun, apabila kenakalan itu dalam konteks yang ekstrim apakah masih bisa disebut wajar ? Anak bermain dengan kriminalitas, tentu saja ada kekacauan yang tengah terjadi di tengah-tengah kita. 

Meskipun tidak sedikit kaum muda yang mengharumkan citranya lewat segudang prestasi. Ya, kita tidak boleh hanya melihat pada satu sisi. Tapi mari kita lihat mana yang paling banyak berita  tentang prestasi atau degradasi (moral)?

Moral. Kata ini tentu tidak asing dan masih membekas dalam ingatan kita. Tapi apakah moral sudah menjadi hal yang dijunjung dalam hidup setiap orang ? Belum tentu. Anak-anak tak berdosa itu melakukan hal yang menyimpang karena mereka belum memahami arti moral. Mereka buta tenatng sebuah nilai yang pada hakikatnya terdapat dalam hati kecil kita masing-masing. 

Moral menurut Hurlock (1990) adalah sopan santun, kebiasaan, adat istiadat dan aturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Pada definisi ini moral disandingkan dengan ‘anggota suatu budaya’. Artinya bahwa sebagai suatu masyarakat yang berbudaya tentunya memiliki moral. Moral juga disamakan dengan sopan santun dan adat istiadat. Hal ini berarti bahwa moral menyatu dengan adat istiadat dalam suatu kelompok masyarakat. 

Bangsa kita sendiri tidak jauh dari budaya dan adat istiadat bahkan penuh. Seharusnya kita malu apabila dengan kekayaan budaya yang kita miliki ini tidak dapat mencetak generasi yang bermoral hingga di tahun 2020. Maksud saya bukan gagal, tetapi adanya masalah yang fundamental sehingga terjadi kemunduran. 

Masalah yang fundamental inilah yang saat ini kita hadapi, yaitu pergeseran gaya hidup. Cerita masa muda ibu dan bapak kita sangat berbeda dengan kehidupan anak muda saat ini. Dari hal kecil saja dalam pergaulan dengan lawan jenis, dahulu laki-laki dan perempuan masih memiliki jarak dan batas. Saat ini pergaulan semakin bebas dan perempuan seakan tidak punya harga diri lagi di hadapan laki-laki. Begitu juga dengan jenis permainan. Dahulu anak muda masih memainkan permainan yang bermanfaat untuk menambah wawasan dan melatih kecerdasan. Saat ini anak muda hanya fokus kepada kehidupan di dunia maya, mengikuti tren terbaru padahal tak sesuai dengan usianya. 

Dengan kenyataan tersebut bagaimana dampaknya dengan perkembangan moral ? Sebelum menjawab kita pelajari terlebih dahulu teori perkembangan moral menurut Kohlberg.

Pra Konvensional

Pada tahap  ini seseorang tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral biasanya pada anak berusia 5 tahun. Penalaran moral dikendalikan oleh imbalan  dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman. Tahap Pra-Konvensional memiliki dua tahap, yaitu: 

  •  Orientasi Hukuman dan Ketaatan

Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan seseorang melakukan sesuatu karena orang lain menuntut mereka untuk taat. 

  • Individualisme dan Tujuan

Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Individu taat bila mereka ingin taat dan yang paling baik untuk kepentingan mereka adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

Konvensional

Pada tahap ini seseorang menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral, yaitu:

  • Individu Memasuki Masyarakat dan Memiliki Peran Sosial. 

Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik (good boy) agar dianggap baik oleh masyarakat. 

  • Kepatuhan Akan Hukum

 Pada tahap ini moralitas dinilai dari kepatuhan atas hukum karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. Hukum harus ditaati oleh semua orang. 

Pasca-Konvensional

Pada tahapan ini individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah. Tahap ini terdirti atas tahap kelima dan keenam, yaitu:

  • Orientasi Kontrak Sosial 

Pada tahap ini benar salahnya suatu tindakan didasarkan atas hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat. Nilai-nilai yang bersifat relatif perlu ada usaha untuk mencapai suatu konsensus bersama.

  • Orientasi Prinsip Universal 

Pada tahap ini moralitas lebih mendengarkan kata hati nurani. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati. Moralitas dinilai pada intinya yakni prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat ( nilai ) manusia sebagai pribadi. individu bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Tahap ini adalah keadaan moralitas tertinggi dari perkembangan moral.

Dari teori perkembangan moral di atas kita dapat menempatkan diri pada bagian mana kkta berada. Jangan-jangan kita masih di tahap dasar setingkat dengan anak SD. Atau bahkan kita tidak memiliki satupun tahapan di atas alias tidak memiliki moral ?

Contohnya saja seperti kasus pembunuhan bocah yang dilakukan oleh remaja 15 tahun. Jika ia berada pada tahap pertama yaitu orientasi pada ketaatan dan hukuman tentu ia tidak berani melakukan kejahatan. Jelaslah bahwa terjadi penyimpangan dalam pekembangan moral pada anak seusia itu. Seharusnya ia sudah masuk pada tahap keempat, yaitu kepatuhan akan hukum bukan sebaliknya. 

Saat ini yang diperlukan adalah kesadaran, kesadaran, dan kesadaran. Kesadaran yang tua maupun yang muda untuk menuntaskan kemerosotan moral generasi muda. Tanpa generasi muda, bangsa ini mau diberikan ke tangan siapa. Namun, bila moral tak menjadi pondasinya masih pantaskah pemuda memikul harapan bangsa? 

Sebelum semua terlambat, mari terus belajar dan mengedukasi perihal moral. 

Penulis: Nurmarinda Dewi Hartono

Dapat diakses di https://www.kompasiana.com/ririnmarinda/5e737130ea4d9646ef1e3252/berbincang-tentang-moral-masa-kini-masih-pantaskah-pemuda-menjadi-tumpuan-harapan?page=3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.